Penjelasan Seputar I'tikaf
TA’RIEF (DEFINISI) I’TIKAF
Ditinjau dari segi bahasa: I’tikaf bermakna :berdiam di suatu tempat
untuk melakukan sesuatu pekerjaan ; yang baik maupun yang buruk dan tetap dalam
keadaan demikian.
Adapun pengertian i’tikaf menurut istilah adalah berdiam di masjid dalam rangka
ibadah dari orang yang tertentu, dengan sifat atau cara yang tertentu dan pada
waktu yang tertentu (Lihat Fathul Bari 4 : 344)
DALIL-DALIL DISYARIATKANNYA I’TIKAF
Firman Allah سبحانه
وتعلى
وَلاَ تُـبَاشِرُوْهُنَّ وَأَنْـتُمْ عَاكِفُونَ فِي
الْمَسَاجِدِ البقرة : 187
“Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam
mesjid”(QS. Al Baqarah : 187)
dalam hadits ‘Aisyah
رضي الله عنها berkata :
“Adalah Nabi صل
اللة عليه وسلم beri’tikaf sepuluh akhir dari bulan Ramadhan hingga beliau
diwafatkan oleh Allah
سبحانه وتعلى”. (HR. Bukhari dan Muslim)
HUKUM I’TIKAF
A. Telah sepakat ulama kita bahwa hukum asal dari i’tikaf adalah sunnah, bahkan
Imam Ibnu ‘Arabi Al Maliki dan Ibnu Baththal رحمهما الله memasukkannya ke dalam sunnah
muakkadah (yang dikuatkan) karena Rasulullah صل اللة عليه وسلم tidak pernah meninggalkannya selama
hidupnya.
Dan hukum asal ini berubah menjadi wajib jika seseorang bernazar untuk
melakukannya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Umar رضي الله عنه bahwasanya beliau pernah bernazar
untuk beri’tikaf satu malam di masjid Haram, maka Rasulullah صل اللة عليه وسلم bersabda :
أَوْفِ بِنَذْرِكَ
Ø
“Tunaikan nazarmu itu”. HR. Bukhari dan Muslim
B. Hukum i’tikaf ini berlaku baik untuk muslim ataupun muslimah sebagaimana
yang kabarkan oleh Shafiyyah رضي
الله عنها ketika beliau menziarahi Nabi صل اللة عليه وسلم pada saat i’tikaf :
“Adalah Nabi صل
اللة عليه وسلم (beri’tikaf) di masjid dan di sisinya terdapat istri-istri
beliau (sedang beri’tikaf pula)…”. HR. Bukhari dan Muslim
Al Imam Ibnul Mundzir رحمه
الله berkata:
“Perempuan tidak boleh beri’tikaf hingga dia meminta izin kepada suaminya dan
jika perempuan itu beri’tikaf tanpa izin maka suaminya boleh mengeluarkannya
(dari i’tikaf). Dan jika seorang suami telah mengizinkan (istrinya) lalu mau
mencabut izinnya maka hal itu dibolehkan baginya”. (Lihat Fathul Bari 4 :
351)
FADHILAH (KEUTAMAAN) I'TIKAF
Adapun fadhilahnya maka i’tikaf mempunyai beberapa keutamaan yang tidak
terdapat pada ibadah lainnya, diantaranya:
Ø I’tikaf merupakan wasilah (cara)
yang digunakan oleh Nabi صل
اللة عليه وسلم untuk mendapatkan malam Lailatul Qadr.
Ø Orang yang melakukan i’tikaf akan
dengan mudah mendirikan shalat fardhu secara kontinu dan berjamaah bahkan
dengan i’tikaf seseorang selalu beruntung atau paling tidak berpeluang besar
mendapatkan shaf pertama pada shalat berjama’ah.
Ø I’tikaf juga membiasakan jiwa untuk
senang berlama-lama tinggal dalam masjid dan menjadikan hatinya terpaut pada
masjid.
Ø I’tikaf akan menjaga puasa seseorang
dari perbuatan-perbuatan dosa. Dia juga merupakan sarana untuk menjaga mata dan
telinga dari hal-hal yang diharamkan.
Ø Dengan I'tikaf membiasakan hidup
sederhana, zuhud dan tidak tamak terhadap dunia yang sering membuat kebanyakan
manusia tenggelam dalam kenikmatannya.
WAKTU I’TIKAF
I’tikaf boleh dikerjakan kapan saja, namun lebih ditekankan pada bulan
Ramadhan, karena itulah yang sering dilakukan oleh Rasulullah صل اللة عليه وسلم. Dan lebih utama dikerjakan pada
sepuluh akhir Ramadhan untuk mendapatkan Lailatul Qadr sebagaimana yang
ditunjukkan hadits Abu Sa’id Al Khudri رضي الله عنه .
I’tikaf yang wajib harus dikerjakan sesuai jumlah hari yang telah dinazarkan,
sedangkan i’tikaf yang sunnah tidak ada batasan maksimalnya dan hal ini
disepakati oleh keempat ulama madzhab, dan jumhur ulama berpendapat bahwa tidak
ada batasan minimal ketika beri’tikaf hal ini berdasarkan atsar dari Umar رضي الله عنه dimana beliau mengabarkan kepada Nabi صل اللة عليه وسلم tentang
nazar beliau untuk beri’tikaf satu malam di masjid Haram, lalu Rasulullah
صل اللة عليه وسلم memerintahkan kepadanya untuk
menunaikan nazarnya. Imam Nawawi رحمه الله mengatakan : “Boleh seseorang beri’tikaf sesaat dan dalam waktu
yang singkat…”. )Al Minhaj 8 : 307)
Ulama kita berbeda pendapat tentang kapan awal masuknya seseorang yang mau
beri’tikaf ke dalam masjid. Jumhur ulama berpendapat bahwa orang yang memulai
i’tikaf hendaknya memasuki masjid sebelum matahari terbenam. Pendapat yang
kedua mengatakan, bahwa i’tikaf baru dimulai sesudah shalat shubuh, berdasarkan
hadits ‘Aisyah رضي
الله عنها:
“Adalah Nabi صل
اللة عليه وسلم jika hendak beri’tikaf, beliau shalat shubuh kemudian masuk ke
(mu'takaf) tempat i’tikafnya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Pendapat ini dipegangi oleh Al Auza’iy, Al Laits dan Ats Tsauri serta dipilih
oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dan Al Imam Ash Shon’ani - رحمهم الله –
Dari dua pendapat yang ada maka yang paling dekat dengan dalil adalah pendapat
yang kedua, yaitu masuk sesudah shalat shubuh, namun pendapat yang pertama
lebih berhati-hati. Wallahu A’lam.
SYARAT-SYARAT I’TIKAF
Orang yang beri’tikaf memiliki beberapa syarat yang harus dipenuhinya yaitu:
Seorang muslim, mumayyiz (sudah mampu membedakan yang baik dan buruk),berakal,
dan suci dari janabat, haidh, serta nifas.
RUKUN-RUKUN I’TIKAF
1. Niat, karena tidak sah suatu amalan melainkan dengan
niat.
2. Tempatnya harus di masjid. Dalilnya firman Allah سبحانه وتعلى yang artinya:
“Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid”
(QS. Al Baqarah : 187)
Keharusan beri’tikaf di masjid ini berlaku pula untuk wanita, dalam hal ini
merupakan pendapat Jumhur Ulama bahwa wanita tidak sah beri’tikaf di masjid
rumahnya karena tempat itu tidaklah dikatakan masjid, lagi pula keterangan yang
shahih menerangkan bahwa istri-istri Nabi صل اللة عليه وسلم melakukan i’tikaf di masjid Nabawi.
Dan berkata Al Hafizh Ibnu Hajar-rahimahullah- tentang i’tikafnya istri-istri
Nabi صلى الله عليه وسلم di masjid :
“Hal ini menunjukkan disyariatkannya i’tikaf di masjid, karena seandainya
tidak, tentu para istri-istri Nabi صل اللة عليه وسلم akan beri’tikaf di rumah-rumah mereka
karena mereka telah diperintahkan untuk berlindung atau berdiam di rumah”. (Fathul
Bari 4 : 352)
MASJID YANG SAH DIPAKAI I’TIKAF
Para ulama telah berbeda pendapat tentang syarat masjid yang sah untuk di
gunakan i’tikaf namun diantara pendapat-pendapat yang ada maka pendapat yang
pertengahan adalah I'tikaf harus dilaksanakan di masjid yang dilaksanakan
shalat berjama’ah padanya karena shalat berjama’ah bagi laki-laki hukumnya
wajib. Hal ini berdasarkan atsar ‘Aisyah رضي الله عنها yaitu:
“Tidak ada i’tikaf kecuali di masjid yang dilaksanakan shalat berjama’ah”. (HR.
Ad Daraqutni dan Al Baihaqi)
Pendapat ini dipegangi pengikut madzhab Abu Hanifah dan Imam Ahmad serta
perkataan Hasan Al Bashri dan ‘Urwah bin Zubair رحمهم الله . Ibnu Qudamah رحمه الله menjelaskan:“Disyaratkannya i’tikaf di
masjid yang dilaksanakan shalat jama’ah, karena shalat jama’ah itu wajib, dan
ketika seseorang beri'tikaf di masjid yang tidak dilaksanakan shalat jama’ah
akan mengakibatkan salah satu dari dua hal : meninggalkan shalat jama’ah yang
merupakan kewajiban, yang kedua keluar untuk shalat di masjid yang dilaksanakan
shalat berjama’ah dan hal ini akan sering berulang padahal masih mungkin untuk
menghindarinya, dan sering keluar dari tempat i’tikaf itu bertentangan dengan
maksud/tujuan i’tikaf …”. (Al Mughni 4 : 461)
Jika seseorang i’tikaf di masjid jama’ah yang tidak dilaksanakan shalat Jum’at
maka pada hari Jumat wajib atasnya untuk keluar shalat Jum’at dan i’tikafnya
tidak batal karena dia keluar disebabkan udzur yang dibenarkan syariat dan hal
tersebut hanya sekali dalam sepekan, dan ini merupakan pendapat Abu Hanifah,
Said bin Jubair, Hasan Al Bashri, Ibrahim An Nakhaaiy, Imam Ahmad, Ibnul
Mundzir, Dawud Azh Zhohiri, Ibnu Qudamah, dan lain-lain رحمهم الله .
HAL-HAL YANG MEMBATALKAN I’TIKAF
1. Jima’ (bersetubuh/ bersenggama).
Dalilnya firman Allah سبحانه
وتعلى yang artinya:
“Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam
mesjid”(QS. Al Baqarah : 187)
2. Murtad.
3. Hilang akal
4. Haidh dan Nifas
5. Keluar dari masjid tanpa hajat yang dibolehkan, walaupun hanya sebentar.
Keluar dari masjid membatalkan i’tikaf karena tinggal di masjid adalah rukun
i’tikaf.
ADAB-ADAB I’TIKAF
Ada beberapa adab yang hendaknya seseorang yang beri’tikaf memperhatikannya dan
berusaha untuk melaksanakannya. Diantara adab-adab tersebut adalah :
1. Memperbanyak ibadah-ibadah sunnah yang mendekatkan dirinya kepada Allah سبحانه وتعلى.
2.Membuat bilik-bilik di masjid untuk digunakan berkhalwat sebagaimana yang
dilakukan oleh Nabi صل
اللة عليه وسلم , terutama jika ada wanita yang ikut beri’tikaf, maka wajib
atas wanita untuk membuat bilik-bilik tersebut agar terhindar dari ikhtilat
(bercampur) dan saling pandang-memandang dengan lawan jenis.
3.Meninggalkan perdebatan dan pertengkaran walaupun dia berada di pihak yang
benar.
4.Juga hendaknya menghindari dari mengumpat, berghibah, dan berkata-kata yang
kotor, karena hal-hal tersebut terlarang di luar i’tikaf maka pelarangannya
bertambah pada saat i’tikaf.
5.Dan secara umum seluruh perbuatan dan perkataan yang tidak bermanfaat
hendaknya ditinggalkan, karena semua hal itu akan mengurangi pahala beri’tikaf.
HAL-HAL YANG DIBOLEHKAN SEWAKTU I’TIKAF
1. Keluar untuk suatu keperluan yang tidak dapat dielakkan.
Dalilnya hadits Aisyah رضي
الله عنها ia berkata :
“Dan adalah Rasulullah صل
اللة عليه وسلم jika sedang beri’tikaf di masjid, kadang beliau memasukkan
kepalanya maka saya menyisirnya dan adalah beliau tidak masuk ke rumah kecuali
karena kebutuhan yang manusiawi”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam Malik رحمه الله berkata :
“Tidaklah seseorang dikatakan beri’tikaf hingga dia meninggalkan hal-hal yang
harus dia tinggalkan seperti menjenguk orang sakit, shalat jenazah, dan masuk
ke rumah kecuali ada hajat insan
Imam Az Zuhri رحمه
الله menafsirkan
hajat insan (kebutuhan yang manusiawi) sebagai kencing dan buang air besar, dan
kedua hal ini merupakan ijma’ tentang bolehnya keluar masjid disebabkan kedua
hal tersebut sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Mundzir رحمه الله.
2.Menyisir rambut, mencukurnya, memotong kuku dan membersihkan badan dari
berbagai kotoran”.(Lihat :Ma’alim As Sunan 2 : 578)
3. Membawa kasur dan perlengkapan lainnya ke masjid.
4. Menerima tamu dan mengantarkannya hingga ke pintu masjid. Sebagaimana yang
dilakukan oleh Rasulullah صل
اللة عليه وسلم ketika beliau diziarahi oleh istri beliau Shofiyyah .
5. Makan dan minum di dalam masjid dengan tetap memelihara dan menjaga
kebersihan dan kemuliaan masjid.
KHATIMAH
Seseorang yang berniat untuk beri’tikaf hendaknya mempertimbangkan maslahat dan
mudharat. Jika dia adalah seorang pemuda yang sangat dibutuhkan oleh orang
tuanya maka hendaknya dia mendahulukan hak orang tuanya karena hal tersebut
wajib, namun jika dia diizinkan untuk beri’tikaf maka itulah yang utama.
Demikian pula dengan orang yang bekerja di bidang jasa dan kepentingan
masyarakat umum hendaknya mendahulukan kepentingan umum dari kepentingan
pribadi dan sungguh Allah سبحانه
وتعلى Maha Mengetahui apa yang diniatkan oleh
hamba-hamba-Nya.
Adapun bagi mereka yang Allah سبحانه
وتعلى muliakan dengan memberikan kesempatan untuk beri’tikaf di tahun
ini hendaknya memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya, raihlah hikmah dan
faidah i’tikaf, perhatikanlah adab-adabnya serta jauhkanlah dari hal-hal yang
terlarang dan janganlah menjadi orang yang i’tikafnya tidak ubahnya dari
sekedar berpindah tempat tidur saja. Mudah-mudahan dengan i’tikaf ini anda bisa
mendapatkan malam yang lebih mulia dari seribu bulan : “Lailatul Qadr".
(Al Fikrah)
Read More..